TAFSIR OBJEK PENDIDIKAN
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
"Ilmu Tafsir"
Dosen Pembimbing : HM. Burhanuddin Ubaidillah, Lc, M. Ag
Oleh:
Wahyu Irvana
Umi Hanik
Zainal Abidin
SEMESTER: III-B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM "MIFTAHUL 'ULA"
(STAIM)
FAKULTAS TARBIYAH, PRODI S-1 PAI
Nglawak-Kertosono
September, 2009
PENDAHULUAN
Al Qur’an, kitab umat Islam di seluruh dunia. Bukan hanya sekedar kumpulan lembaran-lembaran yang dibaca dan mendapatkan pahala dengan membacanya. Namun lebih dari itu, Al Qur’an merupakan mukjizat yang abadi sampai hari akhir nanti, bahkan Al qur’an memberikan hujjah dan sebagai penolong di hari perhitungan amal kelak. Di dalam Al Qur’an terdapat kandungan pengetahuan yang tiada tara. Baik yang tersurat ataupun yang masih tersirat.
Umtuk mengetahui makna-makna dan hikmah-hikmah yang terdapat dalam Al Qur’an, perlu adanya penafsiran-penafsiran tentang ayat-ayatnya, dan semua itu terdapat dalam ilmu tafsir. Di antara ilmu-ilmu qur’an, tafsir merupakan ilmu yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Di dalamnya terhimpun tafsir dari sudut balaghoh, nahwu, shorof, asbab nuzul, munasabah, hadits, tarikh, dan lain sebagainya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an diperlukan adanya ilmu yang luas. Maka dalam makalah ini akan dicoba menguraikan tafsir tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan objek pedidikan, yakni QS. At Tahrim: 6, QS. Asy Syu’araa: 214, QS. At Taubah: 122, dan QS. An Nisaa’: 170.
TAFSIR OBJEK PENDIDIKAN
A. QS. At Tahrim Ayat 6
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Dalam ayat ini terdapat lafadz perintah beruppa fi’il amr yang secara langsung dan tegas, yakni lafadz (peliharalah/ jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap orang Mu’min salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka.
Dalam tafsir jalalain proses penjagaan tersebut adalah dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah SWT.
Merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk menjaga dirinya sendiri, serta keluarganya, sebab manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana sabda Rosuloulloh SAW.
“Dari Ibnu Umar ra. Berkata: saya mendengar Rosululloh SAW. Bersabda: setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanyai atas kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai atas kepemimpinannya..... (HR. Bukhary-Muslim)
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke 6 ini turun, Umar berkata: "Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?" Rasulullah SAW. menjawab: "Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepadanya.
Maka jelas bahwa tugas manusia tidak hanya menjaga dirinya sendiri, namun juga keluarganya dari siksa neraka. Untuk dapat melaksanakan taat kepada Allah SWT, tentunya harus dengan menjalankan segala perintahNya, serta menjauhi segala laranganNya. Dan itu semua tak akan bisa terjadi tanpa adanya pendidikan syari’at. Maka disimpulkan bahwa keluarga juga merupakan objek pendidikan.
Dilihat dari ayat itu sendiri terdapat hubungan antar kalimat (munasabah), bahwa manusia diharapkan seperti prilaku malaikat, yakni mengerjakan apa yang diperintah Allah SWT.
Tafsiran: ayat ini menerangkan tentang ultimatum kepada kaum mu’minin (diri dan keluarganya) untuk tidak melakukan kemurtadan dengan lidahnya, meskipun hatinya tidak.
Kesimpulan: ayat ini menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka, yang bisa disimpulkan juga merupakan untuk tarbiyah diri dan keluarga.
B. QS. Asy Syu’araa Ayat 214
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S Asy Syu'ara': 214).
Sesuai dengan ayat sebelumnya (QS. At Tahrim: 6) bahwa terdapat perintah langsung dengan fi’il amar (berilah peringatan). Namun perbedaannya adalah tentang objeknya, dimana dalam ayat ini adalah kerabat-kerabat.
”Al Aqrobyn” mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Mutalib, lalu Nabi saw. memberikan peringatan kepada mereka secara terang-terangan; demikianlah menurut keterangan hadis yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Namun hal ini bukan berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani Hasyim dan Muthollib, tetapi juga untuk seluruh umat Islam. Sebab sesuai kaidah ushul fiqh:
”...dengan umumnya lafadz, bukan dengan khususnya sebab”
Dilihat dari munasabah ayat, selanjutnya terdapat ayat ke-215
”Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (QS. Asy-Syu’araa: 215)
Jadi perintah ini juga berlaku untuk seluruh umat Islam.
Asbab nuzul ayat ini, Ketika ayat ini turun Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Bani Abdul Muthalib, demi Allah aku tidak pernah menemukan sesuatu yang lebih baik di seluruh bangsa Arab dari apa yang kubawa untukmu. Aku datang kepadamu untuk kebaikan di dunia dan akhirat. Allah telah menyuruhku mengajakmu kepada-Nya. Maka, siapakah di antara kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini untuk menjadi saudaraku dan washiku serta khalifahku?” Mereka semua tidak bersedia kecuali Ali bin Abi Thalib. Di antara hadirin beliaulah yang paling muda. Ali berdiri seraya berkata: “Aku ya, RasulullahNabi. Aku (bersedia menjadi) wazirmu dalam urusan ini”. Lalu Rasulullah SAW memegang bahu Ali seraya bersabda: “Sesungguhnya Ali ini adalah saudaraku dan washiku serta khalifahku terhadap kalian. Oleh karena itu, dengarkanlah dan taatilah ia.” Mereka tertawa terbahak-bahak sambil berkata kepada Abu Thalib: “Kamu disuruh mendengar dan mentaati anakmu”
Umat Islam adalah saudara bagi yang lain, maka harus saling mendidik dan menasehati. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
“ Dari Jarir Ibn Abdillah ra. Berkata: saya bersumpah setia kepada Rosululloh SAW untuk mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menasehati kepada setiap muslim”. (HR. Bukhory-Muslim)
Maka kerabat-kerabat kita terdekat merupakan juga objek dakwah dan tarbiyah.
C. QS. At Taubah: 122
”Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)
Dalam ayat ini juga terdapat dua lafadz fi’il amar yang disertai dengan lam amar, yakni (supaya mereka memperdalam ilmu agama) dan lafadz (supaya mereka membari peringatan),yang berarti kewajiban untuk belajar dan mengajar.
Adapun proses belajar dan mengajar sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Sabda beliau:
”Dan darinya (Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rosululloh SAW bersabda: barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya tidak dikurangi sedikitpun dari padanya. (HR. Muslim)
Asbab nuzulnya adalah Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi saw. mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: (Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi) ke medan perang (semuanya. Mengapa tidak) (pergi dari tiap-tiap golongan) suatu kabilah (di antara mereka beberapa orang) beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat (untuk memperdalam pengetahuan mereka)
yakni tetap tinggal di tempat (mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya) dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya (supaya mereka itu dapat menjaga dirinya) dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyah lantaran Nabi saw. tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila Nabi saw. berangkat ke suatu ghazwah.
Kesimpulan: maka tidak sepatutnya seluruh kaum muslimin pergi berperang (jihad), namun harus ada juga yang harus belajar dan mengajar. Sebab proses tarbiyah sangat pentingbagi kukuhnya Islam. Rosul SAW bersabda (artinya): ”Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang)” (HR. Syaikhani)
D. QS. An Nisaa’: 170
”Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan sedikitpun kepada Allah) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Qs. An Nisa’: 170)
Dalam ayat ini Allah menyeru kepada manusia untuk beriman, sebab sudah ada Rosul (Nabi Muhammad SAW) yang diutus untuk membawa syari’at yang benar.
Dalam tafsir disebutkan bahwa lafadz An Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada ahli kafir Mekah.
Adapun manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah,maka dakwah dan tarbiyah kepada non muslim pun harus tetap dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik.
Nabi SAW bersabda:
”Dari Abdullah Ibn ’Amr Ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya Nabi SAW besabda: sampaikanlah dariku walau sat ayat.....” (HR. Bukhory)
Kesimpulan: Maka manusia baik yang muslim maupun non muslim merupakan objek dakwah dan tarbiyah. Namun disini perlu diluruskan, bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mauidzoh hasanah, dan argumen yang bertanggung jawab.
PENUTUP
KESIMPULAN
Pendidikan atau tarbiyah merupakan proses penting untuk melaksanakan taat kepada Allah SWT dan menggapai ridhonya, sebab belajar dan mengajar diwajibkan dalam Islam.
Manusia seluruhnya merupakan objek pendidikan (tarbiyah dan dakwah), namun perlu adanya prioritas untuk kedua hal tersebut, yaitu dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, kerabat, orang Islam, dan akhirnya kepada sesama manusia (non muslim)
DAFTAR PUSTAKA
1. Sayyid Ahmad Hasyimi. 1971. Mukhtarul Ahaditsun Nabawiyyah. Surabaya: Haromain.
2. Drs. Moh. Harisuddin Cholil, M. Ag. 2009. Ushul Fiqh I. Kertosono: STAI Mifathul 'Ula.
3. K. Ahmad Subhi Musyhadi. 1981. Misbahul Anam Syarh Bulughul Marom . Pekalongan: Maktabah Raja Murah
4. Al Allamah Abu Zakariya Al Anshory. Tanpa tahun. Riyadhus Sholihin. Surabaya: Haromain
5. Al Allamah Jalaluddin Al Mahally dan Al Allamah Jalaluddin As Suyuthi. Tanpa Tahun. Tafsir Jalalain. Surabaya: Darul Kutub Islamiyyah.
6. http://tafsirtematis.wordpress.com/kajian-lain/
7. http://c.1asphost.com/sibin/Alquran_Tafsir.asp?pageno=6&SuratKe=9#Top
Tidak ada komentar:
Posting Komentar